Pagi itu, situasi kota Mansoura berjalan seperti biasa. Kendaraan terlihat mulai berdesak-desakan di jalan-jalan yang sempit. Suara klakson bertabrakan di udara kota, membangunkan penghuninya untuk mulai beraktivitas. Di salah satu sudut jalan, tempat berdirinya sebuah bangunan megah ada kejadian yang menarik. Tepatnya di super market
Awadallah, kejadian ini mengambil settingnya. Pelakunya adalah seorang anak berseragam Tsanawiyah dengan seorang pria dewasa berbaju parlente.
Alkisah, pria tersebut sedang berbelanja untuk keperluan rumah tangganya. Terlihat beberapa jenis barang telah memenuhi setengah keranjang barang yang didorongnya. Ketika sedang asyik memilih susu, ia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang senantiasa mengawasinya dari jauh. Pria itu lalu memilih satu merk susu yang sering
dikunsumsinya dan memasukkannya ke dalam keranjang barang. Ia segera menuju ke kasir untuk membayar. Tapi tiba-tiba ia terhenti karena di hadapannya ada seorang anak perempuan berseragam sekolah Tsanawiyah menghalangi langkahnya.
“Maaf paman, ada satu barang yang saya tidak setuju paman membelinya” kata anak perempuan tersebut kepada pria berbaju parlente.
“Mohon paman mengembalikan barang itu ke tempatnya dan memilih barang yang lain” lanjut si anak. Pria itu terkejut. Kenapa ada seorang anak perempuan yang berani protes dengan barang yang menjadi haknya. Karena heran ia balik bertanya:
“Barang apa itu?”
“Susu yang terakhir paman beli” jawab si anak.
Pria itu semakin heran, memangnya ada apa dengan susu yang barusan dibelinya.
Ia kemudian mengeceknya kembali. Mungkin si anak mengingatkannya agar tidak mengkonsumsi susu tersebut karena masa berlakunya sudah habis. Tapi, ketika ia memeriksa label produksi, tidak ada yang bermasalah. Terhitung baru satu minggu susu itu diproduksi. Lalu ada masalah apa?
Karena bingung, pria itu kembali bertanya kepada si anak “Kenapa adik meminta saya untuk mengembalikan susu ini, apa ada yang salah dengan susu ini?” Mendengar pertanyaan itu, si anak menarik napas panjang. Ia seakan mengumpulkan seluruh tenaganya untuk memberikan jawaban,
“Paman, apakah paman tahu kalau susu yang barusan paman beli produk negara Denmark, negara yang menghina dan merendahkan martabat Nabi kita dengan kartun-kartun amoral? “Paman,
sebagai seorang muslim kita seharusnya tidak lagi membeli produk-produk negara Denmark. Apakah paman sanggup bertemu dengan Rasulullah saw nanti di hari kiamat
sementara paman masih meminum susu buatan negara yang menghina beliau?”
Lanjut si anak dengan penuh keyakinan.
Pria itu menarik napas panjang. Ada kekaguman dalam hatinya melihat anak perempuan yang ada di hadapannya. Sekalipun masih duduk di bangku Tsanawiyah, tapi komitmennya terhadap Islam melebihi dirinya. Ia bahkan tidak terpikir untuk memboikot produk-produk Denmark. Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya menuruti kehendak hati anak perempuan itu. Susu Denmark yang ada di keranjang ia ambil dan dikembalikan ke
tempatnya semula. Si anak perempuan mengucapkan terima kasih kemudian segera berlalu ke tempat lain di dalam super market.
Setelah si anak pergi, hati pria dewasa itu kembali diusik dengan nafsunya. Beragam pikiran berkecamuk di kepalanya. Ada satu pertanyaan muncul dalam benaknya:
“Apakah saya harus memboikot produk Denmark?”
Masalah boikot khan masih menjadi perdebatan ulama. Memang ada yang mengatakan bahwa boikot itu wajib. Tapi khan juga ada ulama-ulama lain yang membolehkan untuk mengkonsumsi barang-barang yang masuk kategori untuk diboikot. Lagi pula anak perempuan yang sempat memprotesnya sudah pergi. Toh, anak itu tidak akan melihat kalau ia mengambil kembali susu yang telah dikembalikannya.
Sambil menengok kiri-kanan, pria itu mengambil kembali susu yang baru saja ia taruh dan segera menuju ke kasir. Tapi sekali lagi, ia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang masih mengawasinya di balik etalase-etalase super market. Mata itu semakin miris. Mulai ada kelopak-kelopak air yang perlahan-lahan menyembul di mata itu. Pemilik mata itu segera beranjak dari tempatnya menuju kasir.
Pria berbaju parlente yang sedang antri di kasir merasa sangat bersalah ketika tiba-tiba dari belakang anak perempuan yang sempat memprotesnya karena membeli susu datang menghampirinya dengan wajah berlinangan airmata. “Paman, bukankah sudah saya katakan bahwa susu yang paman beli itu produk Denmark? Bukankah paman juga tahu bahwa
koran Denmark telah menghina Nabi? Mengapa paman masih juga mau membeli produk orang-orang yang menghina Nabi? Lirih suara anak perempuan itu bercampur isak tangis bertanya kepadanya.
Pria itu sejenak tertegun. Tidak mampu berkata apa-apa. Baginya, membeli susu produk Denmark tidak berarti apa-apa. Tapi tidak bagi anak perempuan di hadapannya. Dalam pandangannya membeli satu susu produk Denmark toh tidak terlalu berpengaruh bagi pasang surut ekonomi negara Denmark. Khan untung yang didapat dengan satu susu bagi negara Denmark tidak berarti apa-apa. Masih ada orang lain yang lebih memiliki
komitmen dibanding dirinya untuk melakukan boikot. Tapi tidak bagi anak perempuan yang menangis di depannya. Bagi anak itu, seorang muslim yang membeli satu susu produk negara yang menghina Nabi berarti telah merelakan Nabi yang mulia untuk dihina dan dilecehkan. Bagi si anak, hal itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tetap harus ada yang mengingatkan.
Sejurus kemudian, pria itu kembali ke tempat etalase susu ditemani si anak perempuan. Susu yang hampir dibayarnya segera ditaruh lagi. Ia kemudian menyatakan kepada anak perempuan yang ada di hadapannya:
“Adik saya berjanji bahwa mulai sekarang saya tidak akan lagi membeli produk-produk Denmark.”
Kisah di atas adalah kejadian nyata sebagaimana yang diceritakan oleh seorang kawan yang tinggal di Mansoura. Sengaja saya ceritakan kembali di sini untuk memperlihatkan kepada pembaca bahwa banyak orang yang mungkin memiliki paradigma seperti pria yang diceritakan di atas.
Mungkin ada di antara kita yang serba acuh tak acuh dan tidak merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelecehan yang dilakukan oleh media massa negara Denmark terhadap nabi Muhammad saw.. Atau mungkin ada juga di antara kita yang ikut prihatin terhadap pelecehan tersebut tapi hanya sebatas tanggapan lisan saja. Ikut aktif demonstrasi di sana-sini tapi bingung, tindakan apalagi yang harus dilakukan untuk membuktikan
cinta kita terhadap nabi Muhammad saw.
Anak perempuan dalam kisah di atas mengajarkan kita satu tindakan riil, yang mungkin dilupakan oleh sebagian kita yang terjerat dengan aktivitas keseharian. Boikot! Merupakan tindakan riil. Boikot dalam skala kecil maupun skala besar. Satu susu seharga 3 sampai 4 pound Mesir sekilas tidak terlalu berpengaruh bagi naik-turunnya ekonomi Denmark. Tapi tetap merupakan produk yang harus diboikot.
Anak perempuan di atas mengajarkan kita bahwa tanggung jawab terhadap pelecehan yang dilakukan oleh koran Jylliands Posten di Denmark harus dipikul oleh seluruh umat Islam dalam semua tataran. Para pegawai yang sering terjebak dengan rutinitas kantor memiliki tanggungjawab yang sama dengan para demonstran yang turun ke jalan-jalan. Para ibu yang asyik mengurusi keperluan rumah tangga dan mengurusi anak memiliki tanggungjawab yang sama dengan para wartawan dan penulis yang bersuara lantang melalui penanya di media-media massa.
Dan tanggungjawab itu terakumulasi dalam satu kata: boikot! Karena keberadaan anak perempuan itu, bersama dengan teman-temannya yang lain dalam satu komitmen; bersama orangtuanya yang telah berhasil mendidiknya untuk memiliki komitmen; bersama para guru yang berhasil mengajarnya di bangku-bangku sekolah untuk mensosialisasikan kebenaran; dan bersama masyarakat yang turut mendukung dan juga ikut bertanggung
jawab mentarbiyah sehingga mereka dapat tumbuh menjadi batu karang yang mempertahakankan kebenaran. Buah dari tabkirut tajnid, pendinian tarbiyah; semua itulah yang menjadikan Barat kembali mengevaluasi pandangan mereka terhadap Islam. Ternyata, umat Islam sekalipun terkesan lemah, terpecah belah, terbelakang, tapi masih menyimpan satu kekuatan besar. Kekuatan itu bernama cinta dan komitmen, buah dari masyru’ tabkirut tajnid, program pendinian tarbiyah sejak di bangku
SLTP.
Cinta dan komitmen terhadap Islam yang dapat memaksa Denmark meminta maaf kepada umat Islam di seantero dunia. Karena mereka saat ini menghadapi kerugian ekonomi secara besar-besaran. Akibat aksi boikot yang dilakukan di negara-negara Islam, Denmark mengalami kerugian ekonomi hampir 1.8 juta dollar AS setiap hari atau sekitar 15 milyar rupiah.
Memasuki awal tahun ini, semangat tabkirut tajnid harus mendorong kita untuk melahirkan generasi-generasi yang cinta Islam, cinta Rasulnya dan cinta kepada umat Islam.
1 comment:
Hai Met kenal semua, blogmu oke nih. Siapa yg mau xlink gabung di follower this blog ama aku? kali aja bisa naikin traffic rank (popularitas blog/web)mu di dunia maupun Indonesia
Post a Comment